Selasa, 20 Oktober 2009

PULANG KAMPUNG

Sepanjang jalan menuju kampungku, kulihat bangunan-bangunan yang dulu belum ada, terkesan megah. Rindu semuanya, ibu-ayah, sanak saudara, kampung yang telah kutinggalkan sepuluh tahun lamanya. Aku tersenyum simpul melihat perubahan yang terjadi, tak jauh beda dengan Bandung, kota dimana aku mengumpulkan receh-receh kehidupan, aku memiliki sepetak toko disana yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari.

***
Aku menikmati sore yang kupikir sore paling indah dalam hidupku, duduk diteras rumah menghadap ke hamparan sawah, sambil menyeruput kopi tubruk buatan Ibu, minuman kegemaranku. Mataku tak lepas memandangi laki-laki perkasa yang memikul hasil panen dipunggungnya, sekarung gabah basah di atas pematang. Anak-anak yang berlari kian kemari sambil saling lempar, bermain perang-perangan dengan senjata rumpun padi yang telah disabit. Semuanya berlatar belakang bukit barisan yang kehijauan
Sungai yang mengalir deras menyajikan alunan musik yang menenteramkan jiwa, terbayang jelas keceriaan masa kanak-kanak, aku dan kawan-kawan, menghabiskan waktu sepulang dari sekolah di bulan puasa, berenang di sungai itu.
“Asyik nian kau kiranya, ziz” tegur Ibu menyadarkan ku dari keterlenaan, perasaan suka menaungi batinku. Beliau baru saja meletakkan sepiring goreng pisang muda kesukaanku, uap airnya mengepul di udara, tidak dilumuri tepung hanya direndam dengan air garam, rasanya amat gurih. Adikku Intan yang memasaknya, Ibu telah menurunkan semua keahliannya sebagai koki jempolan pada adik bungsuku ini.
“Si Fauzan baru saja menikah bulan kemarin, Ziz” Ujar ibuku menyambung pembicaraan sembari duduk di sebelahku. Kedua kursi yang kami duduki dan meja rotan ini adalah warisan nenekku, sudah berumur puluhan tahun namun masih kuat. Fauzan adalah kawan karibku di Sekolah Dasar dulu, aku, dia, Syaiful, Armen, Candra, Dayat, dan Tomi merupakan 7 sekawan dalam satu kelompok belajar. Kegemaran kami adalah berenang, dan nonton serial pahlawan bertopeng dari Jepang.
“Aziz sudah menemuinya kemarin, Mak. Bahagia sekali mereka, pasangan yang sangat serasi. Padahal mereka itu dulunya seperti anjing dan kucing saja, Mak, tiap bertemu selalu perang mulut”
Ibu tersenyum, bau jerami menyusupi hidungku, bau khas yang menggetarkan dan membawaku ke masa lalu.
Ada banyak cara mengungkapkan perasaan suka kita pada seseorang, Nak. Salah satunya dengan pura-pura membenci, kelihatannya saja begitu, sedang dihati mereka tak ada yang tahu”
Kami mengurai lagi masa-masa yang sudah lewat, masa kecil, masa remaja, kawan-kawanku dengan semua tingkah polahnya. Awan tipis menyelubungi matahari, kawanan kalong mulai terlihat melintasi langit dari barat ke timur. Satu dua ekor kalong terbang rendah menuju pohon durian yang sedang berbunga disebelah rumahku.
“Kapan engkau menyusul, Nak?” Ibu kembali pada tujuannya, menggelitikku agar mengakhiri masa lajangku, di usiaku yang sudah menginjak kepala tiga ini, aku tahu betapa khawatir dan inginnya beliau menimang cucu-cucu yang lucu. Saat ini aku amat ingin mewujudkan keinginannya itu. Aku membayangkan seorang perempuan yang akan menyambut dan mendampingiku sepulang dari letihku yang melahirkan keturunan untukku dari rahimnya, aku tersenyum.
“Tak adakah seorangpun perempuan yang menarik hatimu di sana, Nak?” Tanya beliau sembari membersihkan toples tempat ikan puyu hasil pancinganku dua hari yang lalu. Dua ekor ikan bersisik kuning keemasan itu bolak balik di dalam dunia kaca yang bening, ku masukkan beberapa buah pellet ke dalamnya, sama sekali tak dihiraukan, pellet tadi mengapung sebelum akhirnya melunak dan hancur mengendap di dasar toples.
“Bagi Mak tak masalah dengan orang manapun kau akan menikah, sunda, jawa, minang, asalkan itu pilihan yang kau pikir sesuai untukmu” Terang Ibu melanjutkan pembicaraan
Beliau menungguku bicara, aku hanya terdiam, kepulanganku kali ini selain melepas rindu juga mengutarakan sesuatu niat yang lama ku pendam, tentang perempuan yang akan mendampingiku
Ada banyak perempuan muda yang kukenal. Aku menghadirkan mereka dalam pikiranku, kecantikan, senyuman, lekuk dan lenggang tubuh yang memikat, namun tak seorangpun yang menanamkan benih cinta dihatiku.
Setelah lama menantiku bersuara, dengan bijak beliau menukar arah pembicaraan
“Ziz, adikmu, sudah ada yang meminangnya”
“Intan, Mak?” Jawabku langsung, Ibu menatapku bingung
“Bukan, Ziz, yang Mak maksud Adik sepupumu, Rida”
Kiranya aku tak siap mendengarkan kabar ini, jelas ada perubahan hebat pada diriku, jantungku berdetak tak beraturan, dadaku terasa panas, dan hati kecilku memberontak. Aku memendam sebuah rasa yang nyaris tak bisa ku tahan, aku tak tahu tepatnya apa yang kurasa, ada marah, bodoh, rapuh, sedih, malu, dan lainnya. Untunglah aku masih bisa mengendalikan emosi tersebut, dengan gelak yang dipaksakan aku berkata terbata
“Oh, Rida” Seekor tupai melihat kearahku, memperagakan dua buah gigi serinya
Rida adalah putri mamakku (paman), lebih muda lima tahun dari usiaku. Aku adalah pelindungnya dari kenakalan teman-teman sebayaku, akupun turut memperhatikan pertumbuhannya hingga dia menjadi seorang perempuan muda yang manis, berbeda dibandingkan masa kecilnya, Rida yang dewasa lebih menjaga jarak dan malu-malu di hadapanku, entah kenapa akupun demikian.
“Malam ini, lelaki itu akan datang berkunjung kesini, kau bisa menilai sendiri bagaimana orangnya”
“Siapa, Mak?” akhirnya dengan satu helaan nafas yang dalam aku mencoba untuk berpikir jernih dan bersikap setenang mungkin
“Dia seorang perantau juga, punya toko pakaian di Tanah Abang, Ayahnya berkawan dengan Mamakmu, sama-sama satu sekolah di STM dulu, tinggal di kota Padang, mereka berdualah yang mengatur semua ini” jawab Ibuku
Langit di atas sana mulai memerah, laki-laki perkasa yang memikul hasil panen di punggungnya tadi tampak menggiring kerbaunya menuju sungai, seorang anak perempuan mengikutinya dari belakang, dia anak laki-laki perkasa tersebut.
Akhirnya pembicaraan kami berkisar tentang perjodohan tersebut, Rida tidak menolaknya juga tidak mengamininya, namun bagi orang-orang sederhana di kampungku ini, diam perawan adalah tanda setuju. Perasaan cemburu mengaliri hatiku, membuatnya sedikit berkedut, dari kejauhan terdengar lantunan ayat suci Al Quran, sebentar lagi maghrib.
***
Aku memandang langit-langit kamar, pikiranku bekerja otomatis, apa yang sedang terjadi denganku, hilang semangat dan merasa hampa. Ribuan sesal menghunjaniku, seperti berada di ruang sempit dan gelap, sesak, kenapa tidak dari dulu aku mengutarakan niatku.
Lalu apa yang harus kulakukan, kembali ke perantauan, mencari perempuan-perempuan lain yang mau ku jadikan isteri, walau tiada perasaan kasih sayang terhadapnya. Hanya sebagai mesin untuk melahirkan keturunanku, memberikan cucu-cucu yang lucu untuk orangtuaku
Haruskah aku menemuinya, terdengar suara Intan memanggilku, kudengar batinku berbisik
“Pergilah menemuinya, kalau memang kau seorang yang jantan”
Apa hubungannya kejantanan dengan perkara ini, bantahku. Laki-laki itu baru saja datang, tak ada jalan lain, aku harus menghadapinya, terutama menghadapi diri dan perasaanku sendiri, aku akan menemuinya.
Di ruang tamu, semua orang sudah berkumpul, kiranya hanya aku seorang saja yang ditunggu, aku sedikit kikuk, mataku tertuju pada laki-laki yang duduk menghadap ke arahku, otakku otomatis berpikir, mencoba mencari-cari ke masa lalu, siapa dia yang kini bertamu dan orang yang akan dijodohkan dengan adik sepupuku ini, dia lebih dulu tersenyum padaku,
“Aziz” Dia berdiri dan mengulurkan tangannya padaku
“Arif” balasku sembari menyambut tangannya, entah kenapa hatiku sedikit lega sekarang, namun perasaan cemburu masih mengalir di hatiku, jujur ku akui bila memang laki-laki ini yang menjadi suami Rida nantinya aku tak keberatan, aku menyalami semua orang yang ada disana, dan duduk disebelah mamakku, kemudian kami berbincang tentang kabar dan kegiatan kami masing- masing, hidup dirantau, juga mengenai perjodohan mereka dan kapan aku akan berkeluarga.
***
Pagi ini, aku bermaksud hendak ke Padang Panjang, ke rumah Mintuo, isteri mamakku, selain bersilaturahmi, juga menyampaikan pesan dari mamakku bahwa beliau akan ke Painan untuk satu keperluan yang mendesak. Namanya Mintuo Dar, perempuan kedua yang ku hormati setelah ibuku, dia menganggap dan memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Pernikahannya dengan mamakku awalnya tak direstui oleh orang tuanya, maklum mereka berasal dari golongan berada sedangkan mamakku waktu itu seorang bujang miskin yang berdagang pakaian kaki lima. Beliau sudah dijodohkan dengan seorang Insinyur lulusan Universitas Andalas, namun karena kegigihan mamakku dan perasaan cinta yang dalam di antara keduanya, membuat orang tuanya menyerah. Dari pernikahan mereka inilah lahir 4 orang sepupuku, salah satunya adalah Rida.
Dengan mengendarai motor berkecepatan 40-60 km/jam aku nikmati pemandangan alam di kiri kananku, hijaunya Lembah Anai dengan sungai dibawahnya, dan air terjun setinggi 15 meter sejenak melupakan persoalan antara aku, laki-laki itu, dan Rida, aku belum bisa menerima perjodohan ini.
Setelah 30 menit perjalanan, aku kini berada didepan sebuah rumah bertingkat dua yang lumayan besar, di kiri kanannya terdapat taman yang ditata sangat menarik, indah, buah tangan seorang perempuan yang memiliki jiwa seni tinggi, Rida, lulusan STSI Padang Panjang. Hatiku berdebar, makin berdebar seiring langkahku.
Bersambung

Tidak ada komentar: