Jumat, 04 Desember 2009

“UDA”

6 Minggu sebelum pernikahan
Sore dilangit ibukota Jakarta, segumpal awan altocumulus tampak seperti gugus pulau papua di selatan, tak tampak seekorpun burung yang melintas. Cuaca lumayan cerah namun kemacetan masih merupakan ritual harian yang mesti dilalui oleh sebagian besar komunitas yang hidup di kota metropolitan ini.
Berikut kisah dari segelintir masyarakat yang menjalani kehidupan Ibukota, percakapan antara ibu dan putranya di taman rumah yang bernuansa etnik. Mereka adalah ibu Elly, dan anaknya Bentang Nusantara yang biasa dipanggil Ben, seorang karyawan muda disebuah perusahaan asing, tipikal laki-laki ulet, bersemangat, pekerja keras, dan juga cerdas.

“Kenapa Ibu begitu saja percaya apa yang dikatakan orang asing itu” protes Ben pada ibunya
“Mereka memperlihatkan pada Ibu foto-foto ayahmu bersama sahabatnya itu, kenapa pula mereka jauh-jauh dari Belanda hanya untuk menyerahkan putrinya pada seorang laki-laki yang tak di kenal” balas ibunya
“Itu aku mereka saja, Bu, siapa tahu mereka bukan dari Belanda, tapi penduduk yang tinggal di pinggir Ciliwung sana”
Ben tak melihat langsung bagaimana rupa dan penampilan kedua tamu ibunya tersebut, ini yang menyebabkan bu Elly geleng-geleng kepala, jelas baginya bahwa kedua tamu itu tidak mungkin mengada-ada. Ditatap buah hatinya dengan pandangan kasih seorang ibu yang tulus
“Ibu tak akan memaksamu, Ben. Pikirkanlah dulu, ibu tahu kamu sudah punya Maya, ini mengenai wasiat, Nak”
Ben balik menatap wajah letih ibunya, ada gurat-gurat ketuaan tampak jelas disana, separuh abad sudah dilalui dengan segala pahit getirnya, ditinggal mati oleh suami tercinta, membesarkan buah hati satu-satunya seorang diri.
Ben masih tak percaya dengan apa yang sedang di hadapinya kini, otaknya berpikir, masih adakah orang-orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai luhur di zaman yang serba mendewakan materi ini, masih adakah orang-orang yang mau menjalankan wasiat, janji yang diikrarkan bertahun-tahun lalu di saat orang-orang memandangnya enteng.
Seekor kupu-kupu hitam terbang disekitar bunga adenium yang sedang mekar, pemandangan itu membuat pikirannya sedikit teralihkan.
“Baiklah, Bu, berikan saya waktu untuk berpikir. Tolong ibu jangan larut dengan wasiat ini”
Bu Elly hanya menggangguk, memahami apa yang diminta oleh putra kesayangannya itu

Kejadian ini bermula 3 hari yang lalu, seorang perempuan paro baya dan seorang perempuan muda nan anggun, bertamu kerumahnya.
Singkat cerita, ayah Ben dan ayah Anne (nama gadis muda nan anggun tadi) yang bersahabat karib telah menjodohkan mereka jauh sebelum keluarga Anne menetap di negeri Belanda. Sebelum meninggal sebulan yang lalu, Bapak Panji Nugroho, ayah Anne yang juga mantan duta besar RI untuk kerajaan Belanda itu berpesan pada isterinya perihal perjodohan tersebut, dan meminta isterinya menemui keluarga sahabatnya di Indonesia.
“Kalau memang Ben belum menikah, bagaimana kalau mereka dinikahkan saja, Bu?” pinta tamu yang paro baya itu pada bu Elly
“Ini soal wasiat lho, Bu, pamali kalau di langgar” tambah tamu itu pula
Begitu akhir perbincangan 3 hari lalu sebelum ibu dan putrinya itu pamit, dan meninggalkan Bu Elly dengan beban pikiran, bagaimana menyampaikan perihal ini pada Ben, karena dia tahu anaknya itu sudah memiliki sandaran hati

***

Bentang menerima perjodohan itu setelah mempertimbangkannya secara matang, dengan berat hati melepaskan pacar yang sudah digaulinya selama 5 tahun ini, Maya, tidak begitu saja bisa menerima, sempat mengancam akan membunuh dirinya, bila Ben tetap menikahi gadis dari Belanda itu, namun sedikit melunak setelah Ben bersumpah bahwa maya adalah cinta matinya, dan perempuan dari Belanda itu hanya mendapatkan fisik bukan cintanya.
“Percayalah padaku, Mai, kalau kau minta aku untuk tidak menjamahnya, akan kulakukan”
Maya masih terisak, sembab matanya, sudah tak mungkin dipertahankan, laki-laki yang diharapkan menjadi suaminya, tak lebih dari sekedar pengecut yang bisanya manut, baginya Ben adalah laki-laki lemah yang tidak tegas
Dan diadakanlah pesta besar-besaran, campuran adat Jawa dan Minang, karena Bu Elly berasal dari Sumatera Barat, namun semua itu tak membuat Ben bahagia, dan Anne merasakan hal itu, dia maklum.

Satu bulan usia pernikahan, kejadian di ranjang malam itu
“Aku tahu kau masih mengingatnya” ujar Anne
“Memang sukar melupakan orang yang kita sayangi” tambahnya melanjutkan
Lalu keadaan menjadi hening. Suara jangkrik terdengar dengan jernihnya, dan lolongan anjing di ujung jalan sana lumayan bikin merinding nyali
“Aku terus berusaha membuatmu suka padaku, tapi kau masih saja mendiamiku” tambahnya pula berhati-hati.
Ben tidur membelakangi Anne, tak sekalipun ia menanggapi isterinya bicara bagai penderita autis yang hidup dengan dunianya sendiri. Keadaan tersebut sudah berlangsung sebulan ini.
“OK, kalau memang tak ada ruang dihatimu untukku, setidaknya bicaralah, kau membuatku takut, Ben”
Seekor ngengat terbang di langit-langit kamar, Anne menarik napas panjang dan menghembuskan karbon dioksida dari paru-parunya. Ngengat itu kemudian hinggap di gorden biru yang belum pernah di lepas sejak hari pernikahan, gorden yang menjadi saksi betapa hambarnya malam-malam yang telah dilalui kedua pengantin baru tersebut, tak ada cumbu rayu, tak ada ritual malam pertama.
“Kau belum menyentuhku sama sekali” tiba-tiba kalimat tersebut keluar juga dari mulutnya, kalimat yang ditabukannya selama ini, tak sanggup lagi dia menahan, pernikahan yang selama ini dibayangkannya sebiru gorden di kamarnya, ternyata tak ada rasa. Tak lama kemudian akibat lelah fisik maupun batin membuat perempuan manis itu akhirnya tertidur.

Pagi harinya di sebuah kafe
“Ben, kalau memang kau tak bahagia, ceraikanlah ia, dan kembalilah padaku, aku ikhlas menerimamu apa adanya” ujar Maya di sebuah kafe langganannya semasa berpacaran dengan Ben dulu, dihadapannya Ben duduk dengan pandangan kosong.
“Kau masih mencintaiku?” tanyanya sembari menatap lekat-lekat ke mata Ben, berharap dapat membobol pertahanan mantan kekasihnya itu yang sedari tadi terus membisu
“Tolong Mai, jangan mendesakku” ujar Ben setelah menyereput kopi panas pesanannya
“Untuk apa meneruskan pernikahan ini, kau tampak tak bahagia, bukankah kau sudah menjalani wasiat itu, ku mohon Ben, jangan sakiti dirimu” pinta Maya memelas, cintanya pada laki-laki itu masih mengakar kuat malah kian mendalam
Ben segera meninggalkan kafe kenangan itu, tak tahu kenapa tidak ada lagi getaran yang dulu dirasakannya pada Maya, Ben menyadari hal itu, padahal beberapa hari ini sosok Maya masih melekat erat di hati dan pikirannya.
Maya tak mampu menegah, hanya bisa menatap punggung laki-laki itu dari tempatnya duduk, diperhatikannya cara laki-laki itu berjalan, masih sama dengan yang dulu, kokoh namun tak bersemangat, kepala yang dulu tegak tampak tertunduk letih

Malam itu di meja makan, dua hari setelah pertemuannya dengan Maya
“Aku masak makanan kesukaanmu” ucap Anne saat membuka penutup makanan yang terbuat dari anyaman bambu itu
Ben memperhatikan gerakan tangan isterinya saat mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan diserahkan padanya, tiba-tiba hatinya sedikit mencair.
“Kuharap makanmu lahap kali ini” ujar Anne setelah menyerahkan piring yang berisi nasi pada suaminya itu
“Aku menelpon ibu, dan menanyakan apa kesukaanmu, oh ya, dia titip salam untukmu” Anne tak peduli apakah kalimatnya di tanggapi atau tidak, sepertinya dia sudah terbiasa dengan diamnya sang suami
Ben mendengarkan, muncul keinginan untuk bicara, namun ada gengsi, gengsi yang seharusnya tak perlu, gengsi yang kelak amat disesalinya, di tatap wajah perempuan yang bisa sabar menghadapi ulah konyolnya, ada sesuatu yang mengalir di hatinya, hangat dan indah
Selama ini aku buta, pikirnya, cantik, lembut, sabar, perhatian, dan seksi. Kiranya Ben baru saja awas, wanita yang hadir dalam hidupnya adalah wanita dan isteri yang sempurna, amarah dan dendam membuat mata hatinya tertutup
Wanita yang dibesarkan di tengah-tengah kebudayaan Barat itu masih mencirikan tipe kepribadian seorang wanita Indonesia asli.

Pagi keesokan harinya, bertepatan hari Sabtu, Ben bermaksud hendak menghabiskan waktunya dirumah
“Uda, sudah lama ku tak bertemu Ibuku, kumohon izinkan aku pergi mengunjunginya” ujar Anne saat membereskan meja makan sehabis mereka sarapan
“Aku sudah membeli dua buah tiket untuk keberangkatan siang nanti, kuharap kau mau pergi bersamaku”
Namun karena gengsi yang ia sendiripun mengaggapnya aneh, dan konyol, Ben melepas kepergian isterinya seorang diri, dan siang itu setelah diantar Ben ke Bandara, dengan menggunakan pesawat Anne terbang menuju kincir angin, Belanda.
Sesaat setelah pesawat yang ditumpangi isterinya lepas landas, tiba-tiba Ben merasa hampa, ada rindu yang menyelinap batinnya, rasa kehilangan yang sangat, dan satu kata yang terus terngiang di telinganya dan begitu mendebarkan adalah kata “Uda” yang diucapkan Anne pertama kalinya.
Sepanjang jalan menuju rumahnya, Ben terus berpikir, Mengapa tak ku penuhi ajakannya, mengapa masih membisu, haruskah aku menyusulnya kesana, bukankah kesempatan bagiku untuk memperbarui ikatan sekaligus berbulan madu, ada sesal yang melintas, menyalahkannya.
Dan Malam itu saat menonton berita di TV, Ben terhempas lemas menyaksikan berita yang menyatakan bahwa maskapai penerbangan asing yang ia ketahui ditumpangi isterinya meledak dan jatuh di samudra pasifik.

Tidak ada komentar: